Minggu, 10 November 2013

Sederhananya Cinta

Kalau intinya cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pencinta sejati adalah perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh kepada orang itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati paling dalam, dari keinginan yang tulus untuk memberikan apasaja yang diperlukan orang yang kamu cintai untuk menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.
Perhatian adalah pemberian jiwa: semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk memperhatikan. Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki kemampuan untuk terus memperhatikan.
Memperhatikan adalah kondisi dimana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu. Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka independen secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah tantangannya. Sebab sebagian besar orang lebih banyak terkurung dalam dirinya sendiri.Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan dari pada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai. Itulah kekuatan para pencinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha secara terus menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya,mendefenisi kan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya,dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapannya itu.
Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itu pula yang memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai. Tapi disini juga tersimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pencinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara perlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatianmu.
Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatianmu itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada disisinya. Mungkin ia tidak mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.

Senin, 04 November 2013

Perjuangan

"Pak, permisi manggil Sylvia dan Yolanda" ku dengar temanku Yogi memanggil kami ber-dua.
'Siapa yang memanggil?" tanya guru ku.
"Bu Astuti pak," jawab teman ku.
Kemudian aku dan teman ku pun keluar dari laboratorium komputer untuk menjumpai guru kami. Berhubung ada peraturan yang mengatakan kalau mau masuk ke lab gak boleh menggunakan sepatu. Nah, karena malas buka terus masang sepatu lagi, jadinya aku dan Yolanda gak pakai sepatu jumpain guru kami. #hihihiih#

"Siang bu. Ada apa ya bu?" tanyaku kepada bu Tuti.
"Mana sepatu kalian?" tanya guruku dengan tersenyum.
"Aduh bu, berhubung kami lagi pelajaran TIK malas bu pakai sepatu" jawab ku dengan tersenyum.
"Ya sudah. Nanti pulang sekolah jangan langsung pulang. Jumpai bu Isyana" kata guruku.
"Ada apa ya buk?" tanya Yolanda.
"Kalian yang mewakili sekolah ikut perlombaan itu" jawab bu Astuti.
Seketika itu juga, aku dan Yolanda langsung berteriak girang. Bagaimana tidak? untuk dapat mewakili sekolah kami harus bersaing dengan teman-teman kami yang lainnya.
Setelah itu, kami langsung kembali ke lab komputer. Teman-teman kami banyak yang bertanya mengapa kami dipanggil? Apa hasil pengumuman peserta sudah keluar? Aku dan Yolanda hanya tersenyum mendengar pertanyaan teman-teman kami.

Siang itu sepulang sekolah, kami menuju salah satu kelas untuk menjumpai bu Isyana.
"Siang bu," sapa kami berdua.
"Siang juga," jawab bu Isyana dengan senyumannya.
Kemudian bu Isyana memberi sedikit pengarahan kepada aku, Yolanda, dan teman kami yang lain Aji. Ya, kami bertiga adalah salah satu tim yang mewakili sekolah nantinya. Memang masih ada peserta yang lainnya, tapi disini tim dibagi sesuai materi yang diperlombakan.
Saat perjalanan pulang, bu Isyana sempat bercerita kepada kami bahwa ketika bu Isyana menelepon bu Astuti bahwa kami lah yang mewakili sekolah, bu Astuti hanya berkata "Tidak diherankan lagi, hanya nama orang ini aja yang kelihatan" mendengar itu rasanya ada sedikit kebanggan dalam hati. #Plakkkk*Naik kuping#
Selama seminggu, kami selalu berlatih untuk mempersiapkan diri kami untuk menghadapi perlombaan yang akan diadakan tanggal 26 Februari.

Pada hari keberangkatan kami ke Medan dimana itu adalah tempat diadakannya perlombaan, kami dipanggil ke kantor bendahara sekolah. #Jrenggg# ternyata kami diberikan uang saku selama kami menginap di Medan, dan sedikit cemilan. #wuah, terimakasih. Kalian pengertian kepada kami#
Sorenya kami berangkat ke Medan. Disitu, aku semobil dengn Yolanda, Aji, Daniel, pak Karles dan sir Girsang. Di dalam mobil hanya aku dan Yolanda perempuan dan kamilah yang paling ribut #gak usah diherankan lagi wajar anak perempuan :D#

Sesampainya di Medan, kami langsung menuju tempat penginapan dan berebut kamar karena bukan hanya kami yang akan menginap disitu. Kami mendapat kamar yang paling ujung ya dikarenakan kami disuruh membawa tas bu Isyana yang beratnya super-duper #hiperbola# tapi gak apalah yang penting kamarnya di samping kamar ibu itu.
Berhubung kamar kami dekat kami mandi, si Yolanda takut kali #ntah hapa yang ditakuti# terus dia minta supaya tidur sekamar dengan bu Isyana dan mem Djasmine #oalah mak, mana bisa ribut lah nanti# tapi setelah acara tawar menawar akhirnya kami tetap tidur di kamar kami.
Keesokan paginya, terdengar suara ribut dari kamar mandi, ku lihat jam masih menunjukkan pukul 04.00 #mengganggu mimpi indah ku# pengennya tidur lagi, tapi mengingat kembali mandi pun harus antri ya, akhirnya aku dan Yolanda bangun lalu antri mandi. Setelah itu, kami menuju kantin dan telah banyak orang yang sarapan pagi itu. Menu pagi ini nasi soto, makanan yang menurut ku tidak ada rasanya tapi demi menambah tenaga yasudah lah.
Pukul 06.30, kami berangkat menuju lokasi diadakannya lomba tersebut. Tapi apa yang terjadi? mobil rombongan di depann kami mogok dan itu membuat kami harus menunggu mereka #hal menjengkelkan#. Setelah menunggu sepersekian jam, mobil tersebut akhirnya siap diperbaiki dan kami melanjutkan perjalanan.

Setibanya di lokasi perjalanan, sudah banyak peserta yang menunggu disana. Memang dalam perlombaan ini, akan dibagi dalam beberapa gelombang. Sembari menunggu giliran, aku dan Yolanda memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar lokasi tersebut.
Setelah kira-kira 3 jam menunggu giliran, tibalah giliran kami #akhirnya, Thank's God. udah kepanasan kami menunggu giliran #. Kami bertiga masuk ke dalam lokasi ujian dan kami duduk sebarisan #supaya bisa kerjasama. *LOH#
Selesai ujian, kami keluar dari lokasi dan segera mencari makanan berhubung juga waktu sudah menunjukkan jam makan siang dan cacing-cacing di perut sudah mulai protes.
Muter-muter lokasi perlombaan tidak ada lagi yang berjualan nasi dan akhirnya kami memutuskan untuk membeli mie ayam. Banyak kejadian konyol yang kami alami selama kami makan bersama. Canda dan tawa selalu ada disetiap pembicaraan kami.

Pukul 17.00, kami kembali ke asrama tetapi #jrengg# gak ada yang menjemput kami akhirnya kami memutuskan untuk menyewa angkutan umum dan angkutan yang kami sewa gak tahu dimana lokasi mess kami padahal tadi dibilang dia tahu. Berhubung, kami sedikit hapal jalannya, jadinya kami lah penunjuk arah si supir sok tahu.
Tiba di mess, semuanya lalu istirahat dan makan malam. Setelah itu, kami mengadakan permainan di sekitar mess. Rindu rasanya kalau melihat kekonyolan kami bermain itu. #hahhaha. masih ingat main tebak-tebakan, ayunan, dkk#.
Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan lewat, rasa kantuk mulai menghinggapi ku tapi rasanya kebersamaan kami ini tidak ingin ku lewatkan. Kami akhirnya memutuskan kembali untuk bangun pukul 00.00, tapi berhubung semuanya udah lelah, ya taulah akhirnya gak ada yang bangun.

Hari ini, hari terakhir kami di Medan, saya dan rombongan memutuskan untuk pergi ke toko buku Gramedia sembari menunggu pengumuman yang akan diadakan pukul 16.00. Di sana saya dan Yolanda melihat-lihat buku dan membeli beberapa keperluan kami. Pukul 12.00, kami memutuskan untuk pergi mecara makan di sekitar kawasan Gramedia. Setelah itu, kami lalu menuju tempat diadakkannya pengumuman dan hasilnya sedikit mengecewakan #pengen nangis#, tapi bu Isyana selalu mensupport kami dan mengatakan "Tak apalah. Ini pengalaman berharga sama kalian. Kalian hebat." walau sedikit kekecewaan tapi tak apalah.

Sabtu, 02 November 2013

Penantianku-1

Nama ku Rere. Dua tahun sudah aku menjadi siswa SMA yang punya segudang mimpi mencintai seorang pria berhidung pesek yang sekarang sedang mengejar impiannya di salah satu universitas terpopuler di Indonesia. Namanya Gilang.
Aku mengenalnya pertama kali melalui mantan kekasihku Aldi yang saat itu adalah junior dari pria yang dimataku memiliki seribu alasan untuk membuatku terdiam membisu dan lalu jatuh mencintainya. Dulu Aldi selalu bercerita semua hal tentang dirinya. Gilang yang merupakan murid terbaik di sekolahnya bahkan di tingkat provinsi karena pernah membawa nama provinsi dalam Olimpiade bergengsi bidang kimia.
Sejak saat itu, aku mulai memperhatikannya melalui akun facebook milikku. Betapa terkejutnya aku, saat ku tahu ia telah memiliki seorang bidadari cantik. Ia adalah Esthi. Esthi adalah seorang gadis yang saat itu masih sama-sama memakai putih abu-abu dengannya. Sama seperti Gilang, Esthi juga merupakan anak berprestasi di sekolahnya. Saat itu ntah mengapa, ada rasa cemburu di hatiku. Saat itu juga aku berkata pada diriku sendiri untuk sadar dan tahu diri mencoba merelakan mimpi-mimpi lalu melanjutkan kehidupan yang sudah terlanjur hambar.
Bertahun-tahun aku menunggu pria tersebut putus dengan kekasihnya. Dalam penantianku menunggu, aku mencoba membuka hatiku untuk pria lain, dia adalah Langit. Saat itu aku mengenal lelaki tampan itu melalui teman masa kecilku Ririn. Setelah pengenalan kurang lebih satu bulan, akupun resmi menjadi kekasih seorang atlet volly yang biasa dipanggil teman-temannya dengan sebutan Madun. Selama hampir dua bulan kami menjalin kasih, aku melihat Langit bermesraan dengan seorang gadis bernama Lia. Saat itu juga aku menghubunginya untuk meminta penjelasan atas semua ini. Dan pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan aku berada dalam keterpurukan melepas bayangannya.
Seiring berjalannya waktu, akupun mulai bisa berdiri tanpa bayangannya lagi, membuka lembaran baru dan berjanji tak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Aku pun mulai menyibukkan hari-hariku dengan sejumlah aktivitas ku demi membunuh bayang-bayang Langit.
Akupun mulai aktif dijejaring sosial twitter dan facebook, dan betapa terkejutnya aku. Aku bertemu dengan lelaki spesial itu Gilang. Aku memutuskan untuk mengarahkan pointer ku ke "Follow" dan setelah ku mention, akhirnya kami pun resmi berteman di sosial media twitter. Mulai saat itu kami pun mulai sering berbicara, berbagi walaupun itu hanya melalui akun twitter dan telepon seluler kami masing-masing.
Semakin hari, kami semakin rutin membuka akun twitter hanya untuk sekedar membalas chat atau bahkan hanya men-stalker. Tanpa kusadari aku mulai jatuh cinta lagi dengannya. Dengan pria yang dulu sangat kuperjuangkan namun harus kulepaskan demi sebuah "KE-TAHU DIRI-AN".

Jumat, 01 November 2013

Kenangan Terindah

"Riii, bangun riii. Sanggup kamu ya tidur sewaktu pelajaran pak Anto," kata Vani sahabatku.
Dengan sedikit bersusah payah membuka mata, ku lihat kelas sepi. Sepertinya jam istirahat. Aku segera mengajak Vani sahabatku pergi ke kantin.
"Kamu kenapa sih ri selalu tidur ketika pelajaran seni musik?" tanya Vani memulai percakapan.
"Aduh van, aku kan udah pernah bilang ke kamu, aku gak suka pelajaran musik. Gak masuk akal tahu" jawabku.
"Gak masuk akal gimana sih ri?" tanya Vani lagi
"Ya iyalah, apaan tuh nada 1/2, 2/4, 3/4 trus sangkar para nada udah kaya sangkar burung aja," jawab ku dengan tersenyum.
Vani hanya bisa tersenyum melihat sikapku. Bagaimana tidak? Mungkin pada pelajaran yang lain kemampuan ku jangan diragukan, tapi kalau udah bagian musik?

Siang itu, setelah pulang sekolah ada seseorang yang memanggil ku. Suara itu seperti tidak asing lagi bagiku. Juan, pacarku.  Juan yang merupakan Ketua OSIS di sekolah ku, seorang musisi, pemain basket. Tak pernah terbayangkan bagiku dapat berpacaran dengannya.
"Rii, kamu besok jadi nonton aku kan?" tanya Juan.
"Aduh, maaf Juan. Besok aku ada pemotretan" jawabku. Ku liat sedikit kekecewaan diraut wajah Juan.
"Please, aku harapin kamu besok datang ke acara Pensi sekolah. Buat aku rii" kata Juan lagi dan berlalu meninggalkanku.
Sepanjang perjalanan pulang, aku selalu kepikiran dengan perkataan Juan tadi.
"Heii, melamun aja," kata kakak ku.
"Eh, gini kak. Besok kan Juan nampil sementara aku ada pemotretan, dia meminta ku untuk datang besok. Bagaimaa?" tanyaku
"Bilang saja sama Juan kamu tidak dapat hadir, kakak yakin dia tidak akan marah," kata kakak ku memberi solusi.
Akhirnya ku putuskan untuk tidak menghadiri acara Pensi tersebut.

Keesokannya, aku mencari-cari Juan. Aku pergi ke ruang OSIS, lapangan basket, kantin namun aku tidak menemukan Juan.
"Dimana Juan? Apa dia marah sama ku?" atau dia sedang di ruang musik?" batinku dalam hati. Bergegas aku menemukan dia disana sedang menyanyikan sebuah lagu.
"Juann, apa aku menganggumu?" tanyaku.
"Tentu saja tidak, masuklah," jawab Juan dengan senyum manisnya.
"Maaf aku tidak bisa menghadiri Pensi tadi malam," kata ku dengan nada penyesalan.
"Ok. Tidak masalah. Tapi  ada satu syarat buat kamu," jawabnya yang membuatku penasaran.
"Apa?"
"Kamu harus belajar musik dengan ku. Ku dengar kamu membenci pelajaran itu. Ku tunggu kamu nanti sore jam 3 disini. Jangan terlambat," kata Juan dengan setengah berlari karena jam istirahat sudah berakhir.
Dengan terpaksa, aku datang ke ruang musik sore itu. Ku lihat Juan telah menantiku.
"Heii," sapaku kepadanya yang dibalasnya dengan senyum manisnya.
Semenjak itu, setiap sore aku belajar musik dengannya yang membuat aku mulai sedikit terbuka dengan musik.
Suatu hari, aku mendengar Juan menyanyikan lagu yang tidak pernah ku dengarkan. Ku minta Juan untuk mengajariku lagu itu tetapi ia menolaknya, alasannya karena aku belum mahir bermain gitar. "Aku akan meminta gitar sebagai ulang tahun ku yang ke-17 minggu depan," batinku dalam hati.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you" terdengar suara mama, papa dan kak Dea menyanyi di kamar ku.
"Ada apa ini? mengapa kalian menyanyi Happy birtday?" tanyaku dengan heran
"Hari ini tanggal 18 sayang, ini hari ulang tahun kamu yang ke-17," jawab mama.
"Astaga aku lupa, makasih mama, papa, kak dea. Riri sayang kalian" kataku sambil mencium ketiga orang yang ku sayang.
Dengan diantar kak Dea, pagi itu aku berangkat sekolah. Berharap segera bertemu Juan dan mendapat ucapan darinya.
"Kamu mau hadiah apa dari kakak ri?" tanya kak Dea.
"Gak ada kak, Riri hanya minta doa," jawabku.
Tiba-tiba dari arah depan kami mendengar suara tabrakan yang sangat keras. Sebuah sepeda motor ditabrak sebuah mobil dan dari arah depan lewat sebuah truk. Aku berteriak dengan sangat keras. Seorang pelajar tergeletak di pinggir jalan. Bergegas aku dan kak Dea turun untuk melihat dan tiba-tiba air mataku tumpah.
"Kakkk," teriak ku pada kak Dea.
"Sabar rii, sabar" kak Dea mencoba menenangkan ku.
"Ini Juan kak, Juan," teriak ku sambil menggoyang-goyangku tubuh Juan namun tidak ada respon.
Ku liat kak Dea mencoba menghubungi ambulans dan orangtua Juan. Saat perjalanan ke rumah sakit, aku dan orangtua  Juan ikut dalam ambulans. Disitulah aku mendengar kabar terburuk dalam hidupku. Juan meninggal dunia.


Seminggu setelah kejadian itu, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sekolah. Sekolah yang penuh dengan kenangan indah ku bersama Juan. Bersama sahabatku, Vani, kami pergi ke tempat dimana biasanya Juan berada. Ke taman, danau, ruang OSIS, lapangan basket, dan ruangan musik.
Ku liat gitar kesayangan Juan ada disitu. Ku peluk gitar itu dan aku menemukan sebuah surat. Ku buka surat itu dengan air mata yang mulai menetes.
Selamat ulang tahun My Princess Riri. Selamat memulai kisah baru penuh tawa dan tangis diusia mu ke-17 sayang. Sebenarnya, aku pengen menyanyikan lagu yang kamu dengar kemarin. Lagu itu lagu ciptaan ku untukmu. Namun, aku tidak bisa untuk menyanyikan lagu itu buat kamu. Maaf ya sayang, aku gak bisa lanjutin lagu itu buat kamu. Kamu terus berlatih ya sayang. Aku yakin kamu bisa. Love you bolot ku Riri.
"Surat ini. Apa Juan telah memiliki firasat sebelumnya bahwa dia akan meninggalkanku?" tanyaku pada Vani yang mencoba menenangkan ku.

Semenjak itu, kemanapun aku pergi, aku selalu membawa gitar kesayangan Juan dan kini aku telah mahirbermain gitar.
Terima kasih untuk kisah yang pernah kamu berikan padaku. Terima kasih karena kamu dengan sabarnya mengajari aku tentang musik yang dulunya sangat ku benci. Aku harap saat ini kamu tersenyum bangga sama ku dari atas sana dan setiap pagi aku masih merindukan senyuman terindahmu.


Arti Persahabatan

Vio singkap kembali ingatannya. Adelle. Namanya manis sama seperti orangnya. Dialah kawan karib Vio yang akan selalu diingatnya. Persahabatan yang telah terjadi selama 5 tahun kini hanya tinggal kenangan semata. Vio kehilangan seorang sahabat yang tidak akan pernah tergantikan.
Peristiwa itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin sekolah. Vio sedang membentak Adelle karena mengambil pena kesukaannya tanpa izin dan menghilangkannya.
Saat Vio bertanya tentang pena itu Adelle pasti akan menjawab bahwa ia akan menggantinya dengan segera. Vio tidak mau Adelle mengganti pena kesayangannya karena pena itu adalah pena pemberian Adelle ketika mereka pertama kali menjadi seorang sahabat.
"Aku tidak mau kau menggantinya! Aku mau pena itu! Selama kau belum mendapatkannya aku tidak akan berbicara denganmu," kata Vio pada Adelle.
Mutiara jernih dari mata Adelle perlahan-lahan menetes dikala ia melihat sahabatnya marah kepadanya. Belum pernah ia melihat Vio marah sebesar itu walaupun ia melakukan kesalahan.
"Sudah beberapa hari ini, Adelle tidak masuk sekolah. Ada apa denganya? Apa dia sakit?" tanya Vio dalam hatinya.
"Eh, aku saja yang berkunjung ke rumahnya. Aku khawatir dengan keadaanya saat ini," batin Vio.
Tetapi niatnya berhenti saat itu karena ia merasa segan. Tiba-tiba telepon rumahnya berdering "Riiinnng, riiiinng, riiinng" ibu Vio yang menjawab panggilan itu. "Vioo.. Vioo.." teriak ibunya "Cepat ganti pakaianmu, kita pergi ke rumah Adelle sekarang ada sesuatu yang telah terjadi pada Adelle" kata ibu dengan nada tergesa-gesa.
Tiba-tiba saja perasaan Vio menjadi tidak tenang. Ada apa dengan sahabatnya? Benak pikirannya diganggu oleh seribu satu pertanyaan.
"Ya Tuhan, tentramkanlah hatiku. Apapun yang terjadi itu adalah ujianMu. Selamatkan sahabatku," berdoa Vio pada Tuhan sepanjang perjalanan menuju rumah Adelle.
Setiba disana, ia melihat ada sebuah bendera kuning dan rumah itu telah dipenuhi oleh sanak saudara. Vio terus berjalan ke dalam rumah. Menabrak setiap orang yang berada di depannya. "Apa yang terjadi? Kenapa jantung ku semakin cepat?" tanyanya dalam hati. Vio melihat ibu Adelle dan segera menjumpainya. Setelah Vio menyalam ibu Adelle ia bertanya apa yang telah terjadi.
"Adelle tertabrak mobil saat menuju rumah kamu Vio. Dia memang dalam kondisi kurang sehat tapi ia bersikeras katanya ada hal penting yang ingin disampaikan kepadamu," cerita ibu Adelle dengan terisak-isak.
"Kakaknya yang segera menyusul ke lokasi setelah mendengar kabar itu menemukan sebuah surat yang digenggamnya dengan sangat erat," sambung ibu Adelle sambil memberikan surat itu pada Vio.
Di dalam surat itu terdapat pena kesukaan Vio dan sebuah note dari ipadnya.
Mata Vio dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinang dengan derasnya. Kalau boleh mengulang waktu, ia ingin meminta maaf dengan sehabat sejatinya, ingin ia memeluk sahabatnya itu dengan erat. Tapi semuanya telah terlambat.
Tiba-tiba suara petir mengagetkan Vio dari lamunanya. Barulah ia sadar bahwa itu hanyalah kisah dari masa silamnya. Persahabatannya dengan Adelle jauh lebih berharga dari pena itu. Saat ini yang bisa dilakukan Vio hanya mendoakan Adelle dan menjaga baik-baik pena pemberian Adelle yang sampai kapanpun akan menjadi kenangan bagi Vio.